Dua Pasang Hati
A
A
A
Tapi kini rambutnya sudah mulai campur dengan warna ungu, terakhir kali Lara mengecat rambut dengan warna violet. Pada wajah Lara juga terdapat bintik-bintik kecokelatan alias freckles , turunan dari opanya.
Tubuh Lara terbilang mungil karena dia tidak bertubuh tinggi seperti saudara-saudaranya dan juga Revan, kakak sulungnya. Dia mewarisi postur ibunya yang hanya beda sejengkal lebih pendek darinya. Biarpun begitu, Lara tetap mempunyai banyak fans . Tak sedikit dari klien-kliennya yang juga punya maksud terselubung demi mendapatkan hati sang desainer interior ini. Tapi tak sedetik pun hati Lara tergetar oleh perhatian khusus dari para kliennya.
Dia tetap fokus pada pekerjaannya. Sampai-sampai anak buahnya, mencoba membantu klien mereka demi mendapatkan Lara. Lara kembali terhenyak dengan pikirannya sendiri. Apa iya gue sekarang harus berhenti mikirin kerjaan dan buka hati buat laki-laki lain setelah Andre? Apa gue yakin bisa menjalani kayak dulu lagi? Gue nggak mau patah hati atau salah orang lagi, kayak yang dulu-dulu. Apalagi sampe dapet yang kaya- Belum selesai ia menggumam dalam hati, deringan suara handphone -nya sendiri mengagetkannya.
”Lara, lo udah sampe rumah?” ”Eh, Echa. Iya udah. Sori ya, gue lupa ngabarin lo, tadi lagi di kamar mandi.” ”Perut lo gimana? Udah enakan, kan?” Suara sahabatnya itu masih terdengar getir. Lara mendekatkan handphone -nya ke perutnya. DUNG! DUNG! Jelas sahabatnya itu tergelak, ”Heh bocah gila!” ”Gimana? Suara perut gue udah kayak gendang belum? Kalo udah, berarti udah sehat tuh,” ujar Lara sambil tertawa. ”...hahaha, Ra, lo harus makasih tuh sama temen gue si Keenan.
Dia udah nganterin lo pulang, lho. Mana lo muntahin lagi bajunya. Gila...” ”Udah kok tadi, Cha.” ”Ra.” Suara Echa sedikit berbisik padanya, ”Menurut lo Keenan gimana? Kece kan?” Perut Lara hampir bereaksi lagi mendengarnya. Cowok tua bangka gitu dibilang kece. ”Ape lo.. udah mau kawin masih mau gatel sama cowok lain, sama sobatnya sendiri pula.” ”Eh gila, maksud gue bukan buat gue. Tapi buat lo.”
Lara langsung tersedak, ide gila dari mana lagi nih si Echa? Coba aja dia tahu kayak gimana Keenan yang asli dan betapa jahatnya dia pas SMA. ”Lo gila kali ya, Cha? Cowok tua gitu lo kasih ke gue.” ”Lah, punya gue apa nggak kalah tua? Ardio lebih tua setahun dari Keenan, jadi juga sama gue.” Echa berkata dengan bangga. ”Situ kalo doyan sama Om-om jangan ajak-ajak eke, ya?” balas cewek itu sambil ketawa.
”Eke nggak doyan, Bok. Udah agak alot kayaknya.” ”Segitu mah, belum Om-om. Baru juga thirty, masih bujangan, ganteng, mapan pula. Eh, by the way, kata Ardio, si Keenan kenal lo dari jaman masih remaja. Kok bisa lo kenal?” ”Jiaaah, bahasa lo, remaja. Maksud lo gue udah aunty-aunty nih sekarang? Hahaha. Iya, gue kenal dia pas gue masih SMA. Dia anaknya temen nyokap gue.” ”Kalian pasti dulu deket banget ya? Sampe dia tahu kalo penyakit lo itu maag akut.”
Lara terdiam beberapa saat, hatinya kembali mencelos mengingat masa kelamnya. Echa jadi sahabat satu-satunya yang belum mengerti masa lalunya yang satu ini. ”Ra? Hellohh? Kok nggak ada suara? Lo udah bobo ya?” Echa menyadari sobatnya ini bungkam beberapa saat. ”Ng... Cha, jadi sebenernya, duh gimana ya..?” Cewek itu terdengar resah dan nggak yakin. ”Kenapa sih? Cerita aja, Ra. Kok lo kayaknya nggak yakin gitu sih?”
Lara menghela napasnya sebentar, ”Keenan itu, cinta pertama gue pas SMA, Cha.” Gantian Echa yang diam seribu bahasa. Dari suara Lara, terdengar jelas bahwa perempuan itu seakan menyimpan erat rahasia tentang Keenan. ”Terus?” ”Iya. Lo inget kan, kenapa sampe sekarang gue nggak mau dijodohin sama lo? Dia alesannya, Cha.” Suaranya terdengar mendesah sedih, menahan tangis. (bersambung)
Vania M. Bernadette
Tubuh Lara terbilang mungil karena dia tidak bertubuh tinggi seperti saudara-saudaranya dan juga Revan, kakak sulungnya. Dia mewarisi postur ibunya yang hanya beda sejengkal lebih pendek darinya. Biarpun begitu, Lara tetap mempunyai banyak fans . Tak sedikit dari klien-kliennya yang juga punya maksud terselubung demi mendapatkan hati sang desainer interior ini. Tapi tak sedetik pun hati Lara tergetar oleh perhatian khusus dari para kliennya.
Dia tetap fokus pada pekerjaannya. Sampai-sampai anak buahnya, mencoba membantu klien mereka demi mendapatkan Lara. Lara kembali terhenyak dengan pikirannya sendiri. Apa iya gue sekarang harus berhenti mikirin kerjaan dan buka hati buat laki-laki lain setelah Andre? Apa gue yakin bisa menjalani kayak dulu lagi? Gue nggak mau patah hati atau salah orang lagi, kayak yang dulu-dulu. Apalagi sampe dapet yang kaya- Belum selesai ia menggumam dalam hati, deringan suara handphone -nya sendiri mengagetkannya.
”Lara, lo udah sampe rumah?” ”Eh, Echa. Iya udah. Sori ya, gue lupa ngabarin lo, tadi lagi di kamar mandi.” ”Perut lo gimana? Udah enakan, kan?” Suara sahabatnya itu masih terdengar getir. Lara mendekatkan handphone -nya ke perutnya. DUNG! DUNG! Jelas sahabatnya itu tergelak, ”Heh bocah gila!” ”Gimana? Suara perut gue udah kayak gendang belum? Kalo udah, berarti udah sehat tuh,” ujar Lara sambil tertawa. ”...hahaha, Ra, lo harus makasih tuh sama temen gue si Keenan.
Dia udah nganterin lo pulang, lho. Mana lo muntahin lagi bajunya. Gila...” ”Udah kok tadi, Cha.” ”Ra.” Suara Echa sedikit berbisik padanya, ”Menurut lo Keenan gimana? Kece kan?” Perut Lara hampir bereaksi lagi mendengarnya. Cowok tua bangka gitu dibilang kece. ”Ape lo.. udah mau kawin masih mau gatel sama cowok lain, sama sobatnya sendiri pula.” ”Eh gila, maksud gue bukan buat gue. Tapi buat lo.”
Lara langsung tersedak, ide gila dari mana lagi nih si Echa? Coba aja dia tahu kayak gimana Keenan yang asli dan betapa jahatnya dia pas SMA. ”Lo gila kali ya, Cha? Cowok tua gitu lo kasih ke gue.” ”Lah, punya gue apa nggak kalah tua? Ardio lebih tua setahun dari Keenan, jadi juga sama gue.” Echa berkata dengan bangga. ”Situ kalo doyan sama Om-om jangan ajak-ajak eke, ya?” balas cewek itu sambil ketawa.
”Eke nggak doyan, Bok. Udah agak alot kayaknya.” ”Segitu mah, belum Om-om. Baru juga thirty, masih bujangan, ganteng, mapan pula. Eh, by the way, kata Ardio, si Keenan kenal lo dari jaman masih remaja. Kok bisa lo kenal?” ”Jiaaah, bahasa lo, remaja. Maksud lo gue udah aunty-aunty nih sekarang? Hahaha. Iya, gue kenal dia pas gue masih SMA. Dia anaknya temen nyokap gue.” ”Kalian pasti dulu deket banget ya? Sampe dia tahu kalo penyakit lo itu maag akut.”
Lara terdiam beberapa saat, hatinya kembali mencelos mengingat masa kelamnya. Echa jadi sahabat satu-satunya yang belum mengerti masa lalunya yang satu ini. ”Ra? Hellohh? Kok nggak ada suara? Lo udah bobo ya?” Echa menyadari sobatnya ini bungkam beberapa saat. ”Ng... Cha, jadi sebenernya, duh gimana ya..?” Cewek itu terdengar resah dan nggak yakin. ”Kenapa sih? Cerita aja, Ra. Kok lo kayaknya nggak yakin gitu sih?”
Lara menghela napasnya sebentar, ”Keenan itu, cinta pertama gue pas SMA, Cha.” Gantian Echa yang diam seribu bahasa. Dari suara Lara, terdengar jelas bahwa perempuan itu seakan menyimpan erat rahasia tentang Keenan. ”Terus?” ”Iya. Lo inget kan, kenapa sampe sekarang gue nggak mau dijodohin sama lo? Dia alesannya, Cha.” Suaranya terdengar mendesah sedih, menahan tangis. (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)